Menulis Adalah Beban Sekaligus Kesenangan

Kegiatan menulis adalah beban bagi penulis, tetapi menulis juga menyenangkan. Bagaimana menyikapi dilema menulis ini?

Marcia Preston, seorang kontributor buku Chicken Soup for the Writer’s Soul pernah mengungkapkan sebuah kalimat menarik tentang aktivitas menulis.

“Menulis membuat kita gila, tapi tidak menulis, bahkan membuat kita menjadi semakin gila.”

Seuntai kalimat yang amat menggelitik.

Pada satu sisi, kegiatan menulis, dengan bermacam-macam hambatan yang kerap mengadang, bisa membikin penulisnya pusing kepala.

Namun, pada sisi yang lain, tidak melakukan aktivitas menulis amat berpotensi mendorong rasa gelisah dalam hati.

Seorang penulis mestinya bisa merasakan dua keadaan yang seperti bertentangan itu.

Kemacetan Paling Membosankan

Lembar pertama form Microsotf Word di layar laptop telah terisi sekira setengahnya. Indikator angka di bawah form yang menunjukkan jumlah kata yang telah saya ketikkan terlihat sebanyak lebih dari 300.

Beberapa pendapat menyatakan bahwa angka 300 menjadi batas minimal sebuah artikel dikatakan cukup bagus tampil di sebuah blog. Tentu saja faktor-faktor lainnya tak bisa diabaikan begitu saja.

Namun yang jelas, saya masih ingin melanjutkan lagi mengetik sekian banyak kata. Saya merasa “cerita” yang seharusnya mengisi artikel ini belum tuntas saya tuangkan semuanya.

Namun, entah setan dari mana tiba-tiba datang mengadang. Jari-jari tangan saya berhenti menari di atas papan huruf pada laptop kecil ini.

Masalahnya bukan lantaran kesepuluh jemari itu enggan bekerja. Yang menjadi persoalan bagi mereka adalah tidak adanya perintah untuk memunculkan kata-kata pada baris selanjutnya.

Mereka memang sebatas pekerja. Ketika order datang, mereka akan mengerjakannya, bila tidak, mereka bakal diam saja.

Otak, bagian tubuh yang berkewajiban mendiktekan kata-kata itu, kini seakan-akan lumpuh. Seusai melewati separuh halaman, tak ada lagi tambahan karakter yang muncul di layar.

Meskipun Menyenangkan, Menulis Adalah Beban

Seorang penulis pasti sangat memahami keadaan seperti ini. Kemacetan jalanan kota Jakarta sekalipun agaknya tidak se-menjengkelkan macetnya otak yang tak mampu mengalirkan kata-kata.

Dan, kemacetan hanya bagian kecil dari bejibun tantangan yang harus dihadapi orang-orang yang berani memproklamirkan diri sebagai penulis. Pelbagai persoalan lainnya, baik yang berasal dari internal penulis sendiri maupun yang datang dari luar dirinya, tak kalah memusingkan.

Saya mengira kondisi ini merupakan gambaran dari setengah kalimat yang dilontarkan Marcia Preston dalam ungkapan yang telah saya sebutkan di atas. Ya, menulis memang bisa membuat orang menjadi gila.

Lantas, amankah ketika kita tidak menulis?

Bagi seorang penulis, kegiatan menulis yang telah menjadi sebuah kebiasaan bisa bertindak seakan-akan sebagai candu. Sekian lama tidak ketak-ketik di komputer atau corat-coret di atas kertas dapat membuat seorang penulis seperti sedang sakau.

Gagasan-gagasan yang berseliweran di kepala seolah-olah mengejek dirinya yang tak mampu mengubahnya menjadi seuntai artikel atau cerita. Dan seperti umumnya orang yang dihina, dalam kondisi semacam ini seorang penulis kadang-kadang ingin berteriak-teriak bak orang gila.

Separuh kalimat Marcia Preston bagian akhir pun benar adanya. Bahkan bisa jadi, tidak menulis lebih mendorong (seseorang yang terbiasa menulis) menjadi sinting ketimbang menulis.

“Kita, yang kecanduan menulis, memaki-maki diri kita sendiri dan merasa bersalah ketika kita tidak menulis.” Demikian uraian yang diungkapkan Marcia Preston dalam tulisan berjudul “Anugerah Mendua”.

Mengapa menulis merupakan anugerah yang mendua? Sebab, lanjut Preston, “… pada saat bersamaan kita suka menundanya dan mencari pengalihan.”

Ya, kita suka menunda untuk berkarya karena kegiatan menulis juga bisa menjadi beban bagi penulisnya.

Jadi, kita harus bagaimana?

Dilema yang Menyiksa: Menulis atau Tidak Menulis

Kondisi yang diceritakan Preston dalam artikel yang dimuat dalam buku Harga Sebuah Impian (2007) itu tidak persis dengan keadaan yang saya hadapi. Namun, kebijaksanaan yang tertuang di sana rasanya bisa saya “pinjam” untuk menguraikan persoalan dan mencari solusinya.

Seorang penulis memang harus menulis, sebab itulah “fitrah”-nya. Dan untuk menulis, tak jarang ia harus menghadapi berbagai macam aral yang melintang.

Masalah yang datang bisa saja menghadirkan stres atau bahkan frustrasi. Sementara itu, jika berhenti menulis, rasa rindu bakal sangat mengganggu.

Untuk mengurangi risiko timbulnya stres akibat permasalahan dalam proses menulis, kita harus memahami dulu penyebab hadirnya galau dalam menulis.

Teruslah Menulis, Pilih Metode Menulis yang Nyaman

Adela Belin menyampaikan paparan menarik berkaitan dengan masalah kecemasan dalam menulis. Dalam artikel “How to Deal with your Writing Anxiety: 6 Smart Tips that Work”, ia menyampaikan beberapa penyebab dan cara mengatasi rasa takut yang berlebihan terkait aktivitas menulis.

Menurutnya, beberapa keadaan yang menjadi pemicu kecemasan menulis antara lain adanya kritikan pedas yang pernah diterima, adanya tenggat waktu (deadline), adanya rasa takut bahwa hasil karyanya bakal dinilai buruk oleh pembaca, dan adanya harapan untuk selalu meraih kesempurnaan.

Di antara berbagai solusi yang dikemukakan Belin, saya masih mengandalkan metode menulis bebas untuk mengurangi potensi timbulnya permasalahan tersebut. Metode menulis ini telah melahirkan berbagai variasi dalam praktiknya.

Berikut ini sebagian dari variasi metode menulis bebas.

1 Menulis cepat dan terus-menerus

Metode yang dikembangkan oleh Mark Levy ini memang mengandalkan kecepatan menulis.

Menulis dengan kecepatan tinggi diharapkan mampu menjaga fokus penulis pada kegiatan menulisnya. Ia diharapkan tidak memikirkan urusan lain, termasuk mengedit tulisan, selama proses menulis berlangsung.

2 Menulis dalam ruang privat dan ruang publik

Model menulis bikinan Hernowo ini dilakukan dengan cara menciptakan dua ruang imajiner yang dinamakan ruang privat dan ruang publik.

Ruang privat dimaksudkan untuk menjalankan tahap menulis konsep yang hanya diketahui oleh penulis sendiri. Jika penulis menganggap tulisannya layak dipublikasikan, ia bisa menayangkannya di ruang publik, misalnya dalam bentuk buku atau penerbitan daring.

Memang, menulis atau tidak menulis bisa memunculkan perasaan tidak nyaman bagi seorang penulis. Yang bisa kita lakukan adalah tetap menulis dengan cara yang tidak memicu rasa cemas yang berlebihan.

Menulis adalah beban, maka kita harus bisa mengelolanya dengan baik agar tetap beroleh kesenangan.

2 thoughts on “Menulis Adalah Beban Sekaligus Kesenangan”

Leave a Comment