Motivasi

Tidak Punya Keahlian Khusus, Tetap Nekat Menulis?

Tidak punya keahlian khusus tetapi berani menjadi penulis? Bisa, kok! Yuk, belajar cara menulis tanpa memiliki keahlian tertentu.

Dalam gendang telinga saya kerap terngiang pertanyaan dan pernyataan semacam itu. Sering timbul rasa resah di dalam hati ketika mendengar ucapan yang sangat mengusik perasaan itu.

Kadang-kadang saya merasa heran dengan diri saya sendiri. Dari mana datangnya kemampuan menghasilkan ratusan tulisan dengan berbagai jenis dan genre dalam kurun beberapa tahun terakhir ini?

Topik-topik tulisan yang saya hasilkan kebanyakan tidak berhubungan langsung dengan disiplin ilmu yang telah saya pelajari secara formal.

Saya pernah sekian lama mendalami ilmu ekonomi. Namun, justru saya tak banyak menghasilkan tulisan dalam bidang yang berhubungan dengan keuangan, perdagangan, dan industri tersebut.

Silakan baca juga tulisan mengenai cara mengatasi writer’s block dengan menulis buruk.

Sepanjang yang saya ingat, dengan dibantu catatan ala kadarnya, saya telah menulis artikel dalam pelbagai bidang kehidupan. Bahasa, sosial, lingkungan, olahraga khususnya sepak bola, dan pendidikan adalah contoh-contoh bidang kehidupan yang menjadi obyek tulisan saya.

Anehnya, di luar urusan kualitas—perkara ini silakan orang lain menilainya–, saya bisa menghasilkan sekian ratus tulisan tanpa dasar ilmu (formal) yang sesuai dengan topik tulisan.

Di luar sana, banyak pula penulis lain dengan keterbatasan serupa mampu menghasilkan karya tulis hingga ribuan.

Tidak Punya Keahlian Khusus, Mungkinkah Menghasilkan Banyak Tulisan?

Nama saya terpampang di “blog keroyokan” bernama Kompasiana. Hingga artikel ini saya kerjakan, lebih dari 200 tulisan dengan berbagai tema telah saya tayangkan di blog yang mengusung jurnalisme warga (citizen journalism) itu.

Sedikit menyinggung kualitas, sekitar 30% dari tulisan-tulisan tersebut mendapat anugrah “Artikel Utama” dari redaksi. Di luar itu, hampir 60% “Artikel Pilihan”, dan hanya 12%  tanpa “gelar”.

Jadi, kendati dihasilkan “tanpa ilmu”, sejumlah karya-karya  itu bisa dikatakan tidak terlampau buruk.

Selain itu, dengan kenekatan tiada tara, saya membangun dan mengisi sebuah blog bertema bahasa Indonesia nyaris seorang diri sejak mula.

Padahal, saya tak pernah mengenyam pendidikan dalam bidang bahasa Indonesia. Saya sekadar pernah mengikuti mata pelajaran dasar di sekolah tingkat dasar hingga menengah.

Dengan tingkat pengetahuan yang tidak memadai itu, saya tetap mampu menelurkan lebih dari lima puluh artikel. Hingga kini, blog itu aktif dengan jumlah konten yang terus bertambah.

Namun, kenekatan itu belum seberapa. Sebab, ada yang lebih parah ketimbang “jurus mabuk” yang sudah saya ceritakan di atas.

Tanpa pernah menjalani profesi sebagai pelawak dan tak pernah sekalipun tampil di panggung komedi tunggal alias stand up comedy dan semacamnya, saya membuat situs humor. Perkara konten-kontennya lucu atau tidak, saya bisa mengurusnya di belakang hari.

Meskipun blog yang saya maksudkan sebagai saluran lelucon ini sedang mati suri, setidaknya saya telah berani memulainya. Tingkat kesulitan yang tinggi menyebabkan situs ini baru terisi konten dalam hitungan jari.

Penulis Tidak Harus Ahli Segala Bidang

Sungguh menarik, Tim Denning “menghadirkan” sosok Elon Musk sebagai contoh nyata menyangkut urusan ini. Ia mengatakan bahwa tweet-tweet-nya tentang kehidupan manusia super kaya itu tidak selalu relate dengan kebanyakan orang.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan sebuah kenyataan yang menggembirakan. Kebanyakan pembaca menginginkan konten berisi kisah dan pengalaman hidup orang-orang biasa seperti kita lantaran peluang untuk dijalankan lebih besar.

Sebuah artikel berjudul “How to Succeed in Writing When You’re Not an Expert in Anything” telah membantu saya menjawab pertanyaan yang sekian lama meresahkan pikiran. Lebih dari itu, tulisan yang terbit dalam blog Write to Done itu memberi keyakinan kepada saya bahwa apa yang telah saya lakukan selama ini tak patut disesali.

Carol Tice telah menghibur dan memberikan kelegaan bagi diri saya dengan tulisannya. Ia mengatakan bahwa penulis tidak (selalu) membutuhkan keahlian khusus untuk bisa menghasilkan tulisan-tulisan menarik dalam bidang-bidang tertentu.

Silakan baca juga ulasan mengenai perbedaan risiko antara menulis dengan bedah otak.

Penulis itu juga menyarankan agar kita tetap percaya diri meskipun tidak memiliki keahlian khusus dalam bidang yang menjadi ceruk (niche) tulisan-tulisan kita. Ia hanya menyodorkan satu jenis kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang penulis.

Nah, jadi penasaran, kan? Sebenarnya, keahlian apa yang dimaksud oleh sang penulis?

Inilah Keahlian yang (Seharusnya) Dimiliki Penulis

Sekali lagi, Carol mendorong para penulis untuk tidak merasa rendah diri dengan ketiadaan keahlian khusus yang dimilikinya. Sebab, seorang penulis mestinya mempunyai sebuah kecakapan yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang lain.

Nah, di sinilah letak keunggulan yang dimiliki oleh seorang penulis. “Hanya” dengan menguasai kemampuan mengolah kata, seorang penulis bisa tampil (seolah-olah) sebagai seseorang yang ahli bermacam-macam ilmu.

Ia bukan seorang pakar ekonomi, tetapi mampu merangkum teori-teori dan fakta-fakta tentang kebijakan moneter, lalu memaparkannya dalam sebuah laporan yang apik.

Seorang penulis juga mampu meraup banyak bahan dari pelbagai sudut dan menyatukannya menjadi sebuah bacaan yang bahkan mampu membuat seorang pakar berdecak kagum.

Begitu pula penulis-penulis yang menghasilkan karya-karya dalam bidang-bidang lainnya.

Ya, kemampuan yang dimiliki oleh seorang penulis, yang tidak dipunyai oleh kebanyakan orang lain, adalah merangkai kata-kata.

Tidak banyak ahli matematika yang sanggup menguraikan ilmu hitung-hitungan yang ada di kepalanya menjadi sebentuk esai yang dirindukan orang. Tidak semua pakar teknik mesin mampu membeberkan cara kerja sebuah alat bermotor hingga mendorong para pembacanya mengacungkan jempol mereka.

Jadi, jangan pernah merasa rendah diri. Penulis mampu “menyulap” pengetahuan-pengetahuan yang berceceran di jalanan menjadi sebentuk tulisan yang menghibur dan mencerahkan.

Berikutnya, mungkin akan timbul pertanyaan lanjutan. Bisakah seorang penulis yang tidak punya keahlian khusus terus melaju dengan hanya mengandalkan kemampuan menulisnya?

Sikap yang Dibutuhkan Penulis (yang Tidak Punya Keahlian Khusus)

Rasa percaya diri menulis tanpa keahlian seyogianya tidak menjadi satu-satunya “senjata” untuk berkarya. Perasaan semacam ini hendaknya menjadi motivasi awal untuk memacu semangat menjadi penulis yang lebih baik.

Lantas, apa langkah-langkah yang harus dilakukan oleh seorang penulis agar dirinya terus berkembang?

Setidaknya ada tiga sikap yang bisa menjadi sarana melanjutkan kiprah menulis meskipun tanpa gelar atau keahlian dalam bidang yang ditulisnya. Ketiga sikap tersebut adalah berani, mau belajar, dan melakukan praktik.

1. Berani

Seorang penulis harus berani menulis tentang topik-topik yang terlintas dalam pikirannya. Seperti yang dikatakan Kuntowijoyo, ada tiga kunci yang harus dimiliki seorang penulis, yakni menulis, menulis, dan menulis.

Namun, mengedepankan keberanian bukan berarti melalaikan kehati-hatian. Sikap berhati-hati mesti dijalankan terutama saat menggarap tema-tema yang sensitif dan bisa berdampak serius, baik bagi dirinya maupun orang lain.

Bagi penulis yang baru memulai “karier”-nya, sebaiknya mengawali kiprah dengan menuliskan pengalaman atau perasaan dirinya, dan materi-materi lain yang dikuasainya. Jika telah melakukan upaya ini selama beberapa waktu, biasanya kepercayaan diri akan meningkat dengan sendirinya.

2. Mau Belajar

Urusan apa pun bakal lebih cepat dipahami dengan belajar. Beruntungnya kita, hidup dalam era digital begini sangat gampang mencari bahan ajar.

Bila belum mampu mengambil pelajaran berbayar, materi yang bisa kita dapatkan secara cuma-cuma bertebaran di seantero “google”. Rasanya kurang elok bila kita masih mengusung alasan kesulitan mendapatkan bahan atau tak memiliki modal buat belajar.

3 sikap yang dibutuhkan penulis.

3. Melakukan Praktik

Aktivitas ini berkaitan dengan sikap berani dan kemauan belajar. Praktik juga merupakan representasi dari keberanian (yang diiringi oleh kehati-hatian) dan semangat belajar.

Berani berpraktik menulis sembari belajar, atau kita acap mendengar orang menyatakan laku ini dengan ungkapan learning by doing, patut kita kedepankan. Jika masih terdapat keragu-raguan dalam hati, tak ada salahnya kita mulai mengejar angan-angan kita dengan membuat tulisan pribadi.

Jadi, seorang penulis tidak harus menjadi pakar dalam tiap bidang yang ditulisnya. Sebab, kecakapan merangkai kata bisa menjadi modal berharga untuk menghasilkan tulisan yang menarik hati.

Apakah kini Anda yakin, meskipun tidak punya keahlian khusus, Anda tetap berpeluang menghasilkan beragam tulisan?

liliek purwanto

Recent Posts



7 Peribahasa Kocak Generasi Milenial yang Hidup Enak

Inilah 7 peribahasa generasi milenial nan kocak, berkaitan dengan kehidupan mereka. Tentu saja, kehidupan serba…

2 weeks ago

Humor Sepak Bola Tersingkir Gegara STY dan Erick Thohir

Humor sepak bola bisa terkikis habis karena ulah Shin Tae-yong dan Erick Thohir. Satu per…

4 weeks ago

Kisah-Kisah Jenaka Sang Guru Bersahaja

Kisah-kisah jenaka ini hampir mustahil tak bikin Anda tergelak. Tokoh utamanya adalah orang bijaksana yang…

1 month ago

Sesulit Apa Sih, Memproduksi Tulisan Humor?

Sudah lama sekali hasrat menghasilkan tulisan humor menyembul dalam hati. Namun realisasinya selalu tersendat, bahkan…

2 months ago

Cara Menghadapi Hinaan Orang Ala Crying Wind

Linda Stafford punya cara menghadapi hinaan orang dan mengubahnya menjadi prestasi mengagumkan. Bagaimana penulis itu…

3 months ago

3 Cara Menang Lomba Menulis Esai Media Nasional

Ingin menang lomba menulis esai yang diadakan oleh media berskala nasional? Silakan simak paparan juri…

4 months ago

This website uses cookies.